Kanal24, Malang – Sebagai bentuk komitmen dalam menciptakan kampus yang siaga dan berdaya terhadap situasi darurat, Tim Emergency Medical Team Universitas Brawijaya (EMT UB) menggelar kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Relawan Emergency Medical Team UB di Graha Medika FK UB selama dua hari, pada 1–2 November 2025. Kegiatan yang mengusung tema “Brawijaya One, One Safety Culture: Towards a Resilient and Mindful Campus” ini menjadi momentum penting bagi sivitas akademika UB untuk membangun budaya keselamatan, kesiapsiagaan, serta kepedulian terhadap potensi bencana dan krisis kesehatan yang mungkin terjadi di lingkungan kampus.
Kegiatan ini diikuti oleh sekitar seratus mahasiswa lintas fakultas dan organisasi kemahasiswaan yang memiliki kepedulian di bidang tanggap darurat dan kesehatan masyarakat. Para peserta berasal dari berbagai unit, seperti Korps Sukarela (KSR UB), Lakesma dari Fakultas Kedokteran, ERT (Emergency Response Team) dari Fakultas Ilmu Keperawatan, hingga perwakilan BAZIS UB serta relawan umum dari berbagai fakultas. Pelatihan ini dirancang sebagai langkah awal dalam membentuk jejaring relawan kampus yang mampu memberikan pertolongan cepat dan tepat saat terjadi keadaan gawat darurat.
Baca juga:
Ardantya Syahreza Lobi Menteri di Solo, Siapkan Malang Masuk Peta Pariwisata Kesehatan Dunia

Proses Pelatihan
Ketua Pelaksana kegiatan, Aldanu menjelaskan bahwa pelatihan EMT UB kali ini difokuskan pada empat topik utama, yaitu identifikasi risiko, komunikasi krisis, penanganan kesehatan mental, dan pertolongan pertama pada kasus medis dasar. Empat materi tersebut dipilih untuk memperkuat kapasitas peserta agar memahami risiko di sekitarnya sekaligus mampu bertindak cepat dan efektif dalam situasi darurat.
“Selama dua hari ini teman-teman akan mendapatkan empat topik utama. Pertama, tentang bagaimana mengenali potensi bahaya di lingkungan sekitar, seperti risiko kebakaran atau bahan kimia berbahaya. Kedua, cara berkomunikasi ketika terjadi krisis, agar pesan dapat tersampaikan dengan jelas dan tidak menimbulkan kepanikan. Ketiga, penanganan stres dan kesehatan mental yang sering dihadapi mahasiswa. Dan terakhir, pelatihan pertolongan pertama seperti CPR,” ungkapnya.
Komposisi kegiatan dirancang dengan proporsi 40 persen teori dan 60 persen praktik lapangan, sehingga peserta tidak hanya menerima materi, tetapi juga langsung mempraktikkan simulasi penanganan darurat. Dalam sesi praktik, para peserta dilatih untuk menghadapi situasi nyata seperti korban pingsan, kecelakaan ringan, hingga penggunaan alat bantu medis dasar. Pendekatan berbasis praktik ini diharapkan mampu menumbuhkan refleks tanggap bencana di kalangan mahasiswa UB.
Strategi dan Kolaborasi
Pelatihan EMT UB 2025 bukan sekadar agenda tahunan, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk menciptakan budaya keselamatan dan kesiapsiagaan di lingkungan kampus. Aldanu menjelaskan bahwa kegiatan ini disusun dengan melibatkan berbagai pihak lintas fakultas agar relawan yang terbentuk memiliki latar belakang keilmuan yang beragam.
Keterlibatan mahasiswa dari berbagai bidang dianggap penting karena bencana dan keadaan darurat tidak hanya berkaitan dengan aspek medis, tetapi juga melibatkan komunikasi, psikologi, manajemen risiko, hingga logistik. Oleh karena itu, kolaborasi lintas disiplin menjadi kekuatan utama dalam membangun sistem tanggap darurat kampus.
Selain peserta dari fakultas kesehatan, pelatihan juga diikuti oleh mahasiswa umum yang memiliki ketertarikan di bidang kemanusiaan dan pertolongan pertama. Hal ini mencerminkan semangat keterbukaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas Universitas Brawijaya. “Kita mulai dari hal kecil — bagaimana peduli dengan lingkungan sekitar, memahami potensi bahaya di kampus, dan menyadari bahwa keselamatan bukan hanya tanggung jawab satu pihak,” ujarnya.
Pondasi Jaringan Relawan EMT UB
Melalui kegiatan ini, UB berharap lahir generasi mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara mental dan sosial. Aldanu menyampaikan harapannya agar kesadaran terhadap keselamatan dan kesiapsiagaan bencana dapat tumbuh menjadi kebiasaan kolektif di lingkungan kampus.
“Banyak yang belum sadar bahwa di UB sendiri pun terdapat berbagai potensi risiko, baik fisik maupun nonfisik. Tidak hanya bencana besar seperti gempa atau kebakaran, tapi juga tekanan mental dan stres yang bisa menjadi bencana pribadi. Dari pelatihan ini, kami ingin mahasiswa menyadari pentingnya saling membantu dan menjaga satu sama lain,” jelasnya.
Pelatihan ini juga diharapkan menjadi pondasi bagi terbentuknya jaringan relawan EMT UB yang siap dikerahkan dalam berbagai situasi darurat di dalam maupun luar kampus. Ke depan, kegiatan serupa akan dikembangkan secara berkelanjutan dengan dukungan dari Yayasan UB dan berbagai fakultas, sehingga UB dapat menjadi model kampus tangguh bencana di tingkat nasional.Dengan terselenggaranya kegiatan ini, Universitas Brawijaya menegaskan komitmennya sebagai institusi pendidikan yang berorientasi pada keselamatan, kesehatan, dan kemanusiaan. Melalui pelatihan yang melibatkan banyak pihak ini, FK UB berharap semangat “One Safety Culture” benar-benar terwujud — membentuk generasi muda yang peduli, terlatih, dan siap menghadapi tantangan darurat kapan pun dan di mana pun. (nid/din)










