Kanal24, Malang — Keluhan dari orang tua dan guru muncul semakin banyak terkait buku pelajaran tingkat sekolah dasar (SD) yang dinilai terlalu rumit bagi kemampuan membaca dan pemahaman siswa. Banyak buku ajar untuk kelas 1 SD kini memuat soal yang seolah lebih layak untuk jenjang lebih tinggi, bahkan dibandingkan dengan tingkat kemampuan anak yang baru belajar membaca.
Salah satu orang tua, Ida (34), menceritakan bahwa buku ajar kelas 1 untuk mata pelajaran seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) memuat pertanyaan seperti “Memakai produk dalam negeri adalah contoh penerapan sila berapa?” dan “Sebutkan contoh penerapan sila ke-empat”. Padahal, anaknya masih belajar mengenal huruf dan belum memahami istilah seperti “musyawarah”.
Baca juga:
Workshop ICBD 2025, FKG UB Dorong Peningkatan Kompetensi Dokter Gigi
1. Permasalahan Bahasa dan Level Buku Ajar
Buku ajar idealnya disusun berdasarkan tingkat perkembangan kebahasaan siswa, mulai dari kosakata dasar, kalimat sederhana, hingga banyaknya gambar yang membantu memahami konteks. Namun kenyataannya, buku untuk kelas rendah SD justru menggunakan teks panjang dan kosakata yang kompleks, sehingga banyak siswa yang kesulitan memahami isi bacaan.
Seorang guru Bahasa Indonesia di Surabaya, Alfian Bahri, mengungkap bahwa guru harus “ngoyo” atau berusaha ekstra untuk membantu siswa yang kemampuan calistung (membaca-menulis-hitung) masih lemah, sementara materi di buku menuntut pemahaman konseptual yang jauh lebih tinggi.
2. Dampak Kurikulum dan Buku yang Sering Berganti
Masalah tidak hanya terletak pada isi buku, tetapi juga pada perubahan kurikulum yang terjadi hampir setiap dekade. Sejak awal kemerdekaan hingga kini, kurikulum di Indonesia telah berganti berkali-kali — dari “Rencana Pembelajaran” tahun 1947 hingga “Kurikulum Merdeka” yang berlaku saat ini.
Perubahan yang cepat sering kali tidak diikuti dengan kesiapan di lapangan. Guru-guru di SD menghadapi kendala dalam perencanaan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan penggunaan buku ajar yang kurang relevan dengan kemampuan siswa. Dalam banyak kasus, sekolah juga belum mendapat pelatihan khusus untuk menyesuaikan pembelajaran dengan buku baru yang diterbitkan setiap pergantian kurikulum.
3. Aspek Bisnis dalam Penerbitan Buku Ajar
Di balik fenomena buku yang sulit dipahami, terdapat pula persoalan pengadaan dan distribusi buku yang kerap dikaitkan dengan kepentingan bisnis. Beberapa sekolah masih memilih penerbit berdasarkan faktor keuntungan, bukan pada kualitas isi buku yang sesuai dengan jenjang usia siswa.
Kondisi ini berimbas pada mutu buku ajar yang beredar. Aspek substansi, kesesuaian bahasa, dan tingkat kesulitan kadang menjadi prioritas kedua setelah urusan komersial. Akibatnya, anak didik justru menjadi korban dari sistem yang lebih berorientasi pada proyek ketimbang kualitas pendidikan.
4. Implikasi bagi Proses Belajar Anak di SD
Ketika buku ajar terlalu sulit, dampaknya meluas ke berbagai pihak. Bagi siswa, kesulitan memahami isi buku dapat menimbulkan frustrasi dan kehilangan minat belajar sejak dini. Anak yang belum lancar membaca dan menulis berpotensi tertinggal dibanding teman sebayanya.
Bagi orang tua, beban bertambah karena harus mendampingi anak belajar hampir setiap hari. Banyak dari mereka mengaku harus “menerjemahkan” isi buku agar bisa dipahami anak. Sementara bagi guru, situasi ini menuntut kreativitas lebih besar untuk memodifikasi materi atau mencari bahan ajar alternatif yang lebih sederhana dan menarik.
Selain itu, beban psikologis siswa juga meningkat. Materi yang terasa terlalu sulit dapat memunculkan rasa takut terhadap pelajaran, menurunkan motivasi, bahkan membuat anak enggan ke sekolah. Padahal, usia sekolah dasar seharusnya menjadi masa membangun rasa ingin tahu dan kegembiraan belajar.
5. Solusi dan Rekomendasi
Agar persoalan ini tidak berlarut, beberapa langkah perbaikan perlu dilakukan secara sistematis. Pertama, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi perlu memperketat proses penilaian buku ajar sebelum diterbitkan, terutama dalam hal kesesuaian bahasa dan tingkat perkembangan kognitif siswa.
Kedua, guru perlu dilibatkan dalam proses penyusunan buku ajar. Pengalaman mereka di lapangan dapat menjadi masukan berharga agar isi buku lebih realistis dengan kemampuan peserta didik. Ketiga, penerbit buku perlu mematuhi pedoman klasifikasi pembaca dini, dengan memperhatikan perbedaan kemampuan anak di tiap jenjang kelas awal.
Selain itu, peran orang tua juga sangat penting. Mereka perlu dilibatkan sebagai mitra sekolah untuk memastikan anak belajar dengan pendekatan yang menyenangkan, bukan tertekan. Pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap pengadaan buku di sekolah, agar kepentingan bisnis tidak menutupi kepentingan pendidikan.
Fenomena buku pelajaran SD yang semakin sulit dipahami menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam sistem pendidikan. Materi yang terlalu kompleks tidak hanya menghambat pemahaman siswa, tetapi juga menurunkan minat belajar dan memperlebar kesenjangan kemampuan antar pelajar.
Dibutuhkan langkah bersama dari pemerintah, penerbit, sekolah, guru, dan orang tua untuk memastikan buku pelajaran kembali menjadi teman belajar yang ramah anak, bukan sumber kebingungan yang menghambat semangat belajar generasi muda. (nid)










