Ada salah satu doa syiekh abdul qadir al jailany dalam kitab Fath Ar rabbany wal Faidh ar rahman yang menggambarkan tentang relasi harta dan hati serta bagaimana keduanya harus kita perlakukan dengan benar, terdokumentasi dengan baik sebagaimana tertulis dalam doa beliau :
اللهم اجعل الدنيا في ايدينا ولا تجعلها في قلوبنا
Letakkanlah ditanganmu, jangan dihatimu.
Bolehlah kita memiliki serangkaian harta benda karena dengan demikian kita bisa banyak berbagi dengan orang lain dan menjalankan banyak perintah Allah swt. Meletakkan harta di tangan tanpa memasukkannya dalam hati adalah membutuhkan riyadhah, usaha keras tersendiri. Karena harta itu telah berkawin dengan hawa nafsu yang keeduanya sangat sulit untuk dipisahkan. Sehingga tidak sedikit seseorang yang disaat memiliki keterbatasan harta, dia bisa sangat dekat dengan Allah swt, ibadahnya kuat, kepeduliannya terhadap sesama luar biasa. Namun disaat seseorang diuji dengan keberadaan dan banyaknya harta maka kemudian lupa dengan segalanya.
Terdapat empat golongan manusia sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah saw tentang hubungan manusia dan harta. Sabda Nabi saw :
… إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْـمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّـيَّـةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُـمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَـمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًـا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُـمَا سَوَاءٌ.
“…..Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang: (1) seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung silaturahmi, dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling baik (di sisi Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan Si Fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama. (3) Seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi Allah). Dan (4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan Si Fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama dalam mendapatkan dosa.” (HR. Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), dan Ibnu Majah (no. 4228)
Menjadi seseorang yang diberi harta sekaligus ilmu adalah dambaan setiap orang atau setidaknya diberi ilmu sekalipun tidak diberi harta yang dengan keduanya bisa melakukan banyak kemanfaatan bagi yang lain. Namun janganlah menjadi salah satu dari yang ketiga dan keempat. Karena keduanya terjauhkan dari keberkahan hidup. Sebab dengan kedua hal itulah keberkahan akan kita peroleh di kehidupan dunia dan akhirat, yaitu ilmu dan harta.
Namun hanya harta terbaiklah yang dapat memyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat, yaitu harta yang mampu termanfaatkan (tasharruf) di jalan-Nya, misal untuk mendirikan masjid, menghidupkan majelis ilmu / taklim, membantu yatim piatu, kaum dhuafa dan jalan kebaikan lainnya. Harta yang demikianlah yang merupakan harta milik kita sesungguhnya.
Sementara harta yang kita simpan di bank, dipegang tangan, diwujudkan berbagai fasilitas hidup semisal rumah, mobil, tanah dan investasi lainnya, maka sejatinya itu bukan harta milik kita yang sesungguhnya. Semua itu hanyalah sebagai kenikmatan dunia yang berhenti diatas tanah dan tidak dibawa hingga dalam kubur. Tentu berbeda dengan harta yang telah ditasharrufkan di jalan Allah swt, maka hal itu akan menjadi sahabat dan teman yang akan mendampingi dalam kesendirian kelak di akhirat.
Harta yang ada di tangan kita hanya akan menyusahkan kita, karena waktu kita habis untuk menjaganya. Sementara harta yang sudah kita infaqkan di jalan Allah maka dialah yang akan menjaga diri kita kelak di akhirat disaat tidak ada satupun yang mampu menjaga kita dari cecaran pertanyaan para malaikat, disaat tidak ada pelita yang mampu menerangi dalam kegelapan kubur.
Karena itulah, jangan susahkan diri untuk menjaga harta, namun biarkanlah harta kita yang menjaga diri kita. Semoga Allah swt menjadikan kita ahli ilmu dan ahli harta yang dermawan, welas asih, loman (jawa). Dan semoga dijauhkan dari sifat kikir dan pelit yang menjadikan diri jauh dari keberkahan. Semoga Allah swt menerima setiap doa harapan kita. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh Dosen Fisip UB Malang dan Penulis Produktif