Oleh : Khoirul Anwar
Harlah ke-58 Korps Alumni HMI (KAHMI) kemarin, 17 September 2024, seakan mendapat kado istimewa. Sebuah metafora yang menggugah jiwa keluar dari seorang ulama kharismatik yang selalu bicara dengan bahasa hati; Gus Mus. Seorang ulama yang dikenal bijak dalam setiap ucapannya, menyampaikan sesuatu yang begitu mendalam tentang HMI (dan tentu juga KAHMI).
Beliau mengatakan bahwa HMI, juga KAHMI, adalah kumpulan orang-orang yang meski berbeda latar belakang partai, pekerjaan, atau dunia, tetap mengenakan jubah yang sama—sebuah pakaian identitas yang tak terlepas. “Berbeda dengan NU,” lanjutnya, “yang jika memasuki arena politik, jubahnya dilepas.”
Pengakuan ini, yang datang pada momentum ulang tahun ke-58 KAHMI, bisa dilihat sebagai hadiah istimewa. Sebuah hadiah berupa kejujuran dan pujian dari sosok yang dihormati di berbagai kalangan. Namun, layaknya hadiah lainnya, pujian ini tidak hanya indah di satu sisi. Pujian itu juga mengandung refleksi dalam pandangannya. Ada hikmah yang patut direnungkan, ada pula tantangan yang terselubung di dalamnya.
Jubah yang Sama: Penghormatan atau Kelemahan?
Jubah, dalam maknanya yang mendalam, adalah simbol keteguhan identitas. Sebagaimana seorang pejuang yang mengenakan baju zirahnya, KAHMI dan HMI memilih untuk selalu mempertahankan jubah yang sama. Terlepas dari gelombang yang menghantam di luar.
Di sini, ada pujian yang tidak bisa diabaikan. Ketika orang-orang tetap mengenakan jubah itu, apa pun yang mereka lakukan, berarti mereka tidak melupakan asal usul mereka. Ada semangat kolektif yang menjadi fondasi bagi KAHMI, satu ikatan yang menembus partai, pekerjaan, atau bahkan ranah sosial lainnya. Seperti pohon tua yang akarnya menghunjam bumi, meski rantingnya tumbuh ke segala arah, jubah itu menjadi pengingat bahwa mereka adalah bagian dari sebuah legacy yang besar.
Namun, perlu tampaknya Gus Mus tidak mengabaikan kenyataan bahwa jubah yang sama bisa menjadi beban ketika harus beradaptasi dengan zaman. Di era politik yang cair, orang yang terlalu terpaku pada identitas bisa jadi kaku menghadapi tantangan. Sementara NU, dalam pandangan beliau, memiliki fleksibilitas yang lebih besar dengan kemampuan melepaskan jubahnya di arena politik. Fleksibilitas ini memungkinkan NU untuk bergerak lebih lincah dan pragmatis dalam menjalani peran politik tanpa terikat oleh satu baju tertentu.
Ada kebaikan dalam keteguhan, namun juga ada kerugian dalam kebekuan. KAHMI, yang selama ini berkutat dengan idealisme yang terbungkus dalam satu jubah, mungkin perlu mempertimbangkan kapan saatnya mengenakan dan kapan saatnya melonggarkan jubah itu. Terutama ketika menghadapi tantangan zaman yang penuh ketidakpastian— yang dikenal sebagai era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).
Menyongsong Era VUCA: Jubah yang Teruji atau Butuh Perubahan?
Zaman ini bukanlah zaman yang diam. Zaman ini penuh dengan gejolak, ketidakpastian, kerumitan, dan ambiguitas—ciri khas dari era VUCA. Dalam dunia yang selalu bergerak, mereka yang tak siap untuk berubah akan tergerus dalam arus. KAHMI, yang sejak lama telah menjadi salah satu kekuatan intelektual dan politik di Indonesia, kini dihadapkan pada pilihan sulit: apakah tetap mengenakan jubah yang sama atau mulai mencari cara untuk beradaptasi dengan dinamika yang ada.
Dalam ketidakpastian ini, KAHMI harus memutar otak lebih jauh. Kekuatan yang telah lama dibangun di ranah politik mungkin perlu diperluas ke bidang-bidang lain, termasuk dunia bisnis. Selama ini, politik telah menjadi panggung utama bagi banyak anggota KAHMI, sebuah jalan yang sudah familier.
Di era yang semakin digital, semakin disruptif, politik saja tidak cukup. Era ini membutuhkan inovasi, kreativitas, dan keberanian untuk terjun ke sektor-sektor lain yang lebih dinamis. Bisnis, dengan segala peluang dan risikonya, adalah salah satu arena yang perlu dijajaki oleh KAHMI.
Menggeluti dunia bisnis bukan sekadar mencari keuntungan materi. Ini adalah soal memperluas pengaruh, membangun jejaring, dan menciptakan solusi-solusi konkret bagi berbagai masalah bangsa. Dengan kekuatan intelektual yang dimiliki, KAHMI memiliki potensi untuk tidak hanya berperan di politik, tetapi juga menjadi motor penggerak ekonomi. Seperti halnya air yang bisa mengalir ke mana pun, KAHMI harus mampu menemukan saluran-saluran baru untuk menghidupi visi besar mereka.
Dalam menghadapi tantangan zaman, KAHMI bisa belajar dari sejarah panjang pergerakan. Ada kalanya idealisme adalah bekal yang tak tergantikan, namun ada pula saat di mana pragmatisme harus diutamakan demi kelangsungan hidup. Dalam dunia bisnis, misalnya, KAHMI perlu membangun ekosistem yang memungkinkan anggota-anggotanya tidak hanya sukses di panggung politik, tetapi juga di pasar global.
Hal ini bukan berarti meninggalkan idealisme yang selama ini menjadi ciri khas, melainkan memperkaya idealisme itu dengan kemampuan praktis. Menghadapi dunia yang semakin kompleks, KAHMI harus mampu membaca peluang, berinovasi, dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk dunia usaha. Seperti burung elang yang mampu terbang tinggi, KAHMI harus mampu menjangkau horizon baru tanpa kehilangan akar yang menancap kuat di bumi.
Menutup Jubah dengan Kehormatan
Di balik semua tantangan dan peluang ini, KAHMI tetaplah sebuah entitas yang dihormati. Jubah yang sama, meski mungkin terlihat kaku bagi sebagian orang, adalah simbol keteguhan yang patut dihargai. Namun, dalam menghadapi masa depan, mungkin jubah itu perlu sedikit dilonggarkan, agar angin perubahan bisa masuk dan memberikan napas baru bagi perjuangan.
Era VUCA bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk berubah, berinovasi, dan menjadi lebih kuat. KAHMI, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memiliki potensi besar untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga bersinar dalam berbagai arena, baik politik maupun bisnis. Jubah yang sama, jika dikenakan dengan bijak, bisa menjadi penanda kehormatan yang abadi—tetap terhormat, tetap beradaptasi, dan selalu siap menghadapi tantangan zaman. (*)
* Penulis merupakan Pengurus KAHMI Majelis Daerah Kota Malang