KANAL24, Jakarta – Rencana pemerintah mengenakan cukai plastik sebesar Rp200 per lembar atau Rp30.000 per kilogram harus dibarengi dengan upaya lain untuk mengendalikan sampah plastik. Sebab tanpa disinergikan dengan kebijakan lain, konsumsi plastik tetap dominan dan menjadi ancaman serius terhadap persoalan lingkungan.
Data dari Bank Dunia (2018) sekitar 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya dan saat ini sekitar 150 juta ton plastik mencemari lautan dunia. Indonesia menjadi negara pencemar kedua terbesar di dunia setelah China. Diperkirakan Indonesia menyumbang 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan. Oleh karenanya, jika tidak ditanggulangi secara secara menyeluruh, sampah plastik akan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang semakin parah, dan merugikan kita semua.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI ), Tulus Abadi mengatakan Kemenkeu harus meluruskan tujuan pengenaan cukai plastik yaitu bukan sebagai instrumen untuk menggali pendapatan negara terlebih dahulu. Tetapi cukai plastik harus sebagai instrumen pengendalian produksi dan konsumsi plastik. Sedangkan pendapatan cukai hanyalah efek samping, sebagai bentuk “pajak dosa” (disinsentif) pada produsen dan bahkan konsumen.
“Jangan jadikan cukai plastik untuk menambal ketidakmampuan atau kegagalan pemerintah dalam menggali pendapatan di sektor pajak,” ujar Tulus di Jakarta, Sabtu (6/7).
Pemerintah, lanjut Tulus, harus mendorong produsen plastik untuk membuat produk plastik yang benar – benar bisa diurai secara cepat oleh lingkungan apapun jenis produk plastiknya. Setelah itu tercapai, cukai plastik harus dihentikan. Kebijakan ini harus bersifat wajib dan penuh kontrol serta pengawasan oleh pemerintah.
Selanjutnya, dana yang diperoleh dari cukai plastik, minimal sebesar 10 persen harus dikembalikan untuk upaya promotif dan preventif. Misalnya secara edukasi dan pemberdayaan agar masyarakat mempunyai kesadaran untuk mengurangi konsumsi plastik.
Konsumen punya tanggung jawab moral untuk mengedepankan pola konsumsi yang berkelanjutan, salah satunya mengurangi konsumsi plastik dan atau menggunakan plastik yang benar benar gampang diurai oleh air, tanah, dan lingkungan secara umum.
“Pemerintah secara serius harus menanggulangi masalah plastik, dari hulu hingga hilir. Dari hulu seharusnya pemerintah mewajibkan adanya produk plastik yang mengantongi SNI. Dan dari sisi hilir pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan pengendalian konsumsi plastik oleh konsumen, termasuk masalah plastik berbayar yang saat ini belum jelas arah dan regulasinya,” ulasnya.
Kemudian, YLKI mendorong pemerintah untuk memfasilitasi pengolahan sampah plastik untuk didaur ulang menjadi produk lain yang lebih bermanfaat. Selain itu produsen harus dibebani tanggung jawab untuk pada sampah plastik dari produk yang dijualnya untuk ditarik dan dikelola kembali. Hal ini sesuai mandat UU tentang Lingkungan Hidup dan UU tentang Persampahan.
“Peran sektor industri tidak bisa dinegasikan, apalagi dimatikan, tetapi sektor industri harus kreatif untuk memproduksi plastik yang tidak merusak lingkungan dan bahkan mempunyai tanggungjawab menyelamatkan lingkungan,” pungkasnya. (sdk).