Oleh : Setyo Widagdo
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya [email protected]
Berakhirnya masa gencatan senjata tidak membawa harapan, melainkan babak baru dari penderitaan yang berkepanjangan di Jalur Gaza. Serangan balasan Israel dan evakuasi besar-besaran warga Palestina menciptakan krisis kemanusiaan yang semakin dalam. Tanpa intervensi diplomatik yang kuat dan komitmen kedua pihak untuk menghentikan kekerasan, Gaza akan terus menjadi medan luka yang terbuka bagi sejarah kemanusiaan dunia.
Keganasan serbuan Israel pasca genjatan senjata sebetulnya sudah diduga sebelumnya, karena Israel tidak menginginkan genjatan senjata secara permanen, artinya genjatan senjata selama enam minggu ini hanya untuk mempersiapkan serangan berikutnya saja, sebab rencana mewujudkan Israel Raya tidak pernah surut dari dersain politik Zionis Israel.
Di tengah situasi konflik yang berkepanjangan di kawasan Timur Tengah, khususnya di Jalur Gaza, muncullah wacana relokasi warga Gaza oleh Presiden Trump. Relokasi ini dimaksudkan memindahkan warga Gaza ke berbagai negara dan jalur Gaza dikosongkan. Dalih demi kemanusiaan dikumandangkan oleh Trump, tetapi dalih ini tidak sepuhnya dapat diterima oleh banyak negara, karena untuk jangka panjang rencana relokasi itu tidak akan menguntungkan Palestina, khususnya warga Gaza itu sendiri.
Ketika Gaza dikosongkan, maka wilayah itu akan dikendalikan oleh otoritas Israel atau AS dan akan sulit mengembalikan warga Gaza kembali ke tanah air.
Lantas bagaimana dengan wacana atau tawaran Presiden Prabowo yang akan mengevakuasi seribu warga Gaza ke Indonesia ? atas wacana ini terdapat pro dan kontra. Yang pro, beralasan bahwa sudah sepatutnya Indonesia berada di depan dalam ikut membantu d an menyelamatkan warga Gaza, karena Indonesia sejak awal konflik selalu konsisten pro Palestina.
Seadangkan yang tidak setuju wacana evakuasi warga Gaza ke Indonesia, melihatnya lebih jauh, tidak semata-mata demi kemanusian, tetapi melihatnya dari masa depan warga Gaza khususnya dan Palestina pada umumnya, jika pada akhirnya Gaza dikuasai Israel dan AS, maka sangat sulit warga Gaza dapat kembali ke tanah air mereka, bahkan bisa jadi mereka akan tidak memiliki kewarganegaraan (stateless).
Ada lagi alasan yang lebih rasional untuk menolak wacana evakuasi tersebut, dan dapat menjadi pertimbangan sebelum mengambil keputusan, alasan alasan tersebut antara lain :
- Kendala Logistik dan Keamanan
Evakuasi warga Gaza ke Indonesia membutuhkan koordinasi yang sangat rumit dan kompleks, termasuk izin dari Israel dan Mesir (melalui perbatasan Rafah), dan negara-negara transit lainnya. Selain itu Indonesia tidak memiliki perbatasan darat dengan Gaza, sehingga proses evakuasi akan sangat sulit dilakukan di tengah konflik yang masih berlangsung. Apalagi dalam jumlah besar.
Pemerintah Indonesia mestinya bisa lebih fokus pada bantuan kemanusiaan langsung (makanan, obat-obatan, dan dukungan medis) ke Gaza melalui organisasi seperti Mercy Corps dan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C). sebab evakuasi massal dianggap kurang praktis dibandingkan memperkuat bantuan di lokasi.
Di dalam negeri persoalan keamanan tidak kalah pentingnya, ketika 1000 warga Gaza di tampung di Indonesia, misalnya persoalah gesekan dengan warga setempat yang berbeda kultur dsb.
- Pertimbangan Politik dan Diplomasi
Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, sehingga koordinasi evakuasi akan sangat rumit. Demikian juga soal isu pengungsi Palestina sering kali terkait dengan hak kembali (right of return) yang sensitif dalam konflik Israel-Palestina. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa Pemerintah Indonesia mungkin ingin menghindari langkah yang bisa dianggap melemahkan posisi Palestina dalam perundingan permanen.
- Kapasitas Penampungan di Indonesia
Meski Indonesia dikenal sebagai negara yang peduli dengan isu Palestina, namun menerima pengungsi dalam jumlah besar memerlukan kesiapan infrastruktur, dana, dan kebijakan imigrasi yang jelas. Sementara Indonesia sendiri situasi politik dan ekonominya terdapat ketidak pastian. Alasan rasional yang lain adalah bahwa saat ini, Indonesia bukan negara penandatangan Konvensi Pengungsi PBB 1951, sehingga tidak memiliki kewajiban hukum untuk menerima pengungsi konflik.
4. Dukungan untuk Solusi Berkelanjutan
Pemerintah Indonesia lebih baik terus konsisten saja mendukung solusi dua negara (two state solution) dan kemerdekaan Palestina. Kebijakan menerima pengungsi dalam skala besar bisa dianggap sebagai “normalisasi pengungsian” alih-alih mendorong penyelesaian konflik. Tetapi justru mendatangkan masalah baru di dalam negeri.
Penolakan terhadap wacana evakuasi warga Gaza, bukan berarti tidak memiliki empati terhadap warga Gaza yang menderita, melainkan justru menghindarkan penderitaan warga Gaza dalam jangka panjang.
Dengan demikian, Indonesia sebaiknya lebih memilih membantu warga Gaza tanpa evakuasi massal, dengan fokus pada bantuan darurat, tekanan diplomatik untuk gencatan senjata, dan dukungan politik di forum internasional (seperti PBB dan OKI). Jika ada wacana evakuasi, kemungkinan akan dibatasi pada kasus-kasus khusus (misalnya pelajar Palestina di Indonesia atau korban luka berat yang membutuhkan perawatan).(*)